Diskusi Anak Muda, Cerita tentang Dunia yang Tunduk, Bukan Kita yang Mengejar dan Makna Dibaliknya!

by -292 Views

Seputaremas.co.id | 10 Februari 2025 Jakarta – Di sebuah kafe dengan pencahayaan temaram, dua sahabat, Nan dan Arya, duduk di sudut ruangan. Kopi hitam mengepul di depan mereka, sementara percakapan mengalir seperti arus sungai yang deras. Malam itu, pembahasan mereka bukan sekadar obrolan ringan. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang menyinggung tentang realitas yang selama ini dianggap mutlak.

“Pernah kepikiran nggak,” ujar Nan sambil mengaduk kopinya, “kalau minyak dan gas itu sebenarnya nggak pernah habis?”

Arya menaikkan alisnya, menatap sahabatnya dengan rasa ingin tahu. “Maksud lo? Bukannya minyak itu dari fosil, butuh jutaan tahun buat terbentuk?”

Nan tersenyum tipis, seperti seseorang yang baru saja menemukan sesuatu yang menarik. “Itu yang selama ini kita diajarkan. Tapi gimana kalau gue bilang, minyak dan gas itu bagian dari nadi bumi? Mereka bukan sesuatu yang terbatas, tapi terus-menerus dihasilkan oleh proses alami di dalam perut bumi.”

Arya terdiam sejenak. “Lo ngomongin teori abiotic oil?”

“Kurang lebih begitu,” jawab Nan, mengambil napas sebelum melanjutkan. “Banyak kasus di mana sumur minyak yang dianggap habis ternyata berisi lagi setelah beberapa dekade. Itu artinya ada sesuatu yang mengisi ulang cadangan tersebut. Belum lagi, kita tahu ada metana di planet lain, kayak Titan atau Mars. Kalau minyak dan gas cuma dari fosil, gimana bisa ada di tempat-tempat yang nggak pernah ada kehidupan?”

Arya menyandarkan tubuhnya ke kursi, pikirannya mulai berputar. “Jadi lo bilang minyak dan gas itu bukan dari fosil, tapi dari reaksi kimia di dalam bumi?”

“Tepat. Ada karbon dalam jumlah besar di mantel bumi. Dengan tekanan dan suhu yang tepat, karbon ini bisa berubah jadi hidrokarbon, yang akhirnya naik ke kerak bumi dan membentuk minyak serta gas alam. Dan yang menarik, banyak cadangan minyak ditemukan di laut dalam, di tempat-tempat yang nggak mungkin ada fosil tumbuhan atau hewan. Kalau benar minyak itu hanya berasal dari fosil, dari mana asalnya di sana?”

Arya mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, berpikir keras. “Kalau begitu, kenapa teori ini nggak umum diketahui?”

Nan terkekeh. “Karena kalau orang-orang tahu minyak dan gas itu nggak terbatas, pasar energi bakal runtuh. Harga minyak nggak bisa lagi dimanipulasi. Selama ini, kita percaya minyak langka karena ada yang ingin kita percaya begitu. Mereka yang mengendalikan pasar minyak nggak akan membiarkan informasi ini tersebar luas.”

Arya menarik napas panjang. “Jadi, ini bukan soal sumber daya yang langka, tapi soal bagaimana kita dipaksa untuk mempercayainya?”

Nan mengangguk. “Tepat. Dan kalau kita bisa melihat lebih dalam, mungkin bukan cuma minyak dan gas yang selama ini kita salah pahami. Banyak hal yang kita anggap sebagai kebenaran absolut ternyata hanya bagian dari permainan.”

Mereka terdiam sejenak, membiarkan realisasi itu meresap. Malam semakin larut, tapi obrolan mereka justru baru saja mencapai kedalaman yang sebenarnya. Dunia ini penuh dengan misteri, dan mungkin, kebenaran yang paling besar adalah yang selama ini disembunyikan di depan mata mereka.

Dua sahabat mereka, Rama dan Bayu, ikut duduk di sudut ruangan yang sepi mendekati tempat nongkrong sahabat mereka berdua. Di hadapan mereka, cangkir kopi mengepul, menghadirkan aroma yang menenangkan, kali ini Kopi yang di pesan Latte yang di pesankan Nan sebelumnya.

Arya Kemudian Menyaut, “Kalau dipikir-pikir, konsep waktu, proses, dan kelimpahan yang lo jelaskan itu jauh lebih masuk akal buat jadi dasar nilai intrinsik,” kata Arya sambil mengaduk kopinya. “Kalau itu yang dipakai, harga bakal terbentuk sendiri tanpa perlu ada yang ngatur.”

Rama ikutan mengangguk setelah mendapat penjelasan tentang hal serupa sebelumnya, tapi kemudian menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi skeptis. “Iya, kalau dibiarkan alami. Tapi kan realitanya dunia ini nggak berjalan begitu. Semua dipolitisasi demi kekuasaan.”

Nan tertawa kecil. “Iya sih, tapi pertanyaannya, siapa yang punya hak buat ngebolehin atau nggak ngebolehin? Bumi ini bukan milik mereka para Elit Global kan.”

Rama menatapnya tajam, lalu tersenyum. “Nah, itu dia. Masalahnya, mereka nggak perlu punya hak. Mereka cukup bikin kita percaya kalau mereka yang punya kendali. Bukan soal kepemilikan, tapi soal narasi dan persepsi.”

Nan mengangguk pelan. “Jadi yang mereka lakukan bukan melarang secara langsung, tapi bikin kita percaya kalau sesuatu harus diterima begitu saja?” Ucap Arya.

“Exactly,” jawab Rama. “Lihat aja, uang fiat misalnya. Dibikin seolah satu-satunya alat tukar yang sah, padahal dulu orang bisa pakai emas, barter, atau sistem lain yang lebih alami. Kelangkaan energi? Seringnya itu dibuat-buat. Teknologi? Dimonopoli supaya nggak berkembang bebas.”

Bayu menatap jauh ke luar jendela sambil Mendengarkan Rama yang semeja dengannya, sambil melamun dia ikut nimbrung memberikan tanggapan “Kalau gitu, masalahnya bukan soal sumber daya atau kelangkaan lagi, tapi soal siapa yang bisa mengontrol pemikiran banyak orang.”

“Tepat!” seru Rama, menunjuk Bayu dengan jarinya. “Karena pada akhirnya, dunia ini bekerja berdasarkan hukum alam, bukan hukum buatan manusia. Mereka cuma bisa bermain di persepsi kita.”

Bayu terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Jadi kalau orang-orang sadar cara kerja dunia yang sebenarnya, sistem ini bisa runtuh sendiri, ya? wkwkwk”

Nan menghela napas sambil nyeletuk. “Masalahnya, nggak banyak orang yang benar-benar paham bagaimana dunia ini bekerja. Mereka lebih sibuk mengejar hasil tanpa mempertanyakan prosesnya.”

Bayu tersenyum sambil mengangkat cangkir kopinya. “Mungkin itu tugas kita menyadarkan sebanyak mungkin orang.”

Rama balas tersenyum, lalu mengangkat cangkirnya. “Untuk dunia yang lebih sadar, mari bangun kesadaran Kolektif.”

Di sebuah kafe kecil di sudut kota tersebut, di mana aroma biji kopi panggang bercampur dengan hawa hujan yang baru reda, empat sahabat duduk mengelilingi meja kayu tua masing-masing sambil berdiskusi serius. Mereka adalah Nan, Arya, Bayu dan Rama, Empat pemuda yang sering mendiskusikan hal-hal mendalam tentang kehidupan, bahkan saking seriusnya Obrolan mereka, orang-orang di sekelilingnya kadang Terpaku bingung melihat ganasnya pemikiran mereka.

Nan kemudian mengaduk kopinya perlahan, menatap jendela berembun sehabis hujan. “Pernah nggak sih kalian mikir, dunia ini tuh cuma permainan? Kayak yang disebut di Al-Qur’an. Kita sibuk ngejar materi, jabatan, kebanggaan, tapi akhirnya apa?”

Arya menyesap kopinya, lalu bersandar. “Gue juga sering kepikiran. Kadang kita terjebak di rutinitas, seolah dunia ini satu-satunya tujuan, padahal cuma ujian sementara. Cuma, gimana caranya biar kita sadar? Kebanyakan orang udah nyaman sama kehidupan sekarang, nggak peduli sama akhirat.”

Bayu, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara kembali. “Kesadaran itu muncul kalau kita paham waktu. Di Al-Qur’an dijelasin, satu hari di sisi Allah bisa seribu tahun menurut kita. Artinya, kita hidup nggak lebih dari beberapa jam kalau dibandingkan dengan kehidupan setelah mati. Kalau kita tahu dunia ini sebentar, mungkin kita bakal lebih fokus ke hal yang benar.”

Rama mengangguk. “Tapi lihat kenyataannya. Orang lebih percaya jadwal kerja daripada jadwal kematian. Nggak ada yang mikirin hidup setelah mati. Padahal, kalau dipikir logis, waktu itu relatif. Hari ini kita ngerasa 24 jam lama, tapi kalau lagi sibuk, tahu-tahu udah malam. Hidup juga gitu, tiba-tiba kita udah tua, terus… selesai.”

Nan tersenyum tipis. “Itu kalau mereka sadar. Masalahnya, kebanyakan orang nggak sadar. Mereka ngira dunia ini bakal abadi. Lupa kalau segala sesuatu ada siklusnya. Kayak hujan, gunung, bahkan alam semesta ini mengembang. Ada yang mengatur semua ini, tapi mereka sibuk cari uang tanpa mikirin apa yang lebih besar.”

Bayu menatap langit malam yang mulai cerah setelah hujan. “Sunnatullah. Alam ini punya aturan. Matahari nggak bakal berhenti terbit. Air selalu ngalir ke tempat rendah. Semua berjalan sesuai hukum-Nya. Tapi manusia? Mereka sering ngelawan aturan itu. Akibatnya? Kacau. Hidup penuh tekanan, ketidakpuasan, rasa hampa. Semua karena mereka lupa ada hukum yang lebih tinggi dari sekadar keinginan mereka.” ungkap Bayu.

Arya menatap kedua temannya, lalu bertanya pelan, “Terus gimana caranya biar orang-orang sadar?”

Rama menaruh gelasnya, berpikir sejenak. “Manusia sadar kalau dikasih kejutan. Entah kehilangan sesuatu, sakit, atau kejadian besar yang bikin mereka merenung. Tapi kita nggak perlu nunggu itu. Kita bisa mulai dari diri sendiri, jadi contoh. Bukan dengan marah-marah atau nyuruh-nyuruh, tapi dengan menunjukkan cara hidup yang lebih tenang, lebih ikhlas, lebih bermanfaat. Orang bakal melihat dan bertanya-tanya, kenapa kita beda?” terang Rama.

Arya mengangguk. “Benar. Kesadaran itu bukan dipaksa, tapi ditumbuhkan. Kayak benih yang butuh air dan matahari, manusia juga butuh pencerahan dan pengalaman. Mungkin kita nggak bisa nyadarin semua orang, tapi kalau satu orang aja berubah karena kita, itu udah berarti.”

Nan tersenyum kecil. “Jadi intinya, kita harus terus jalan di jalur yang benar, dan biarkan orang lain melihat hasilnya. Mereka bakal sadar dengan sendirinya.”

“Mereka berempat terdiam sejenak, menikmati suasana yang semakin malam. Hujan yang turun rintik-rintik sudah mereda, langit semakin cerah, dan bintang-bintang pun seakan jadi saksi diskusi ke empat anak muda ini, seperti ingin menegaskan bahwa semua ada siklusnya. Dan di dalam siklus itu, kesadaran akan datang kepada siapa pun yang mau merenung.” Kemudian Rama dan Bayu Berpamitan pulang, sementara Arya dan Nan melanjutkan Obrolannya.

“Jadi, kalau Tuhan ngasih keinginan, lo bakal minta apa?” tanya Arya

Nan, yang sejak tadi duduk diam karena kehabisan kopi, menatap jauh ke arah konter sebelum menjawab. “Gue nggak mau apa-apa. Keinginan itu udah dihilangkan.” “kopi gua abis njir, pingin bilang mau kopi tapi malu” dalam hatinya.

Arya mengernyit. “Maksud lo? Lo nggak punya keinginan sama sekali? mau gua pesenin kopi lagi gak?”

Nan mengangguk pelan. “Setelah lo paham realitas, semuanya jadi nggak penting. Gue cuma menjalani apa yang diperintahkan. Kalau ada tugas, ya dikerjakan. Kalau nggak, ya rutinitas biasa aja.”

Arya termenung, menarik napas panjang. “Tapi hidup tanpa keinginan… itu nggak terasa hampa?”

Nan tersenyum tipis, seolah sudah mengantisipasi pertanyaan itu. “Buat yang belum paham, mungkin iya. Tapi buat yang udah ada di sini, ini justru keadaan paling bebas. Nggak ada yang perlu dikejar, nggak ada yang perlu ditakuti. Semua berjalan seperti seharusnya.”

Arya menatapnya dalam, mencoba memahami. “Lo kayak… udah lepas dari semuanya?”

“Bukan lepas,” Nan mengoreksi. “Tapi sadar bahwa semuanya hanya bagian dari tugas. Gue cuma wadah yang menjalankan. Yang memberi tugas adalah yang Maha Memerintah. Nggak ada kepemilikan di sini, nggak ada keterikatan.”

Angin bertiup lebih kencang setelah hujan, menggoyangkan atap terpal kafe yang lembab. Arya menggigit bibirnya, berpikir. “Berarti tiap orang punya tugasnya sendiri?”

Nan mengangguk. “Tiap wadah punya levelnya, punya fungsinya. Ada yang dapat tugas terus-menerus, ada yang jarang. Itu tergantung keterikatan seseorang sama kebersihan qalbunya. Semakin bersih, semakin selaras sama tugasnya.”

Arya menatap tetasan air yang jatuh dari atap kafe, membiarkan kata-kata itu meresap. “Kalau lo cuma menjalankan, berarti lo nggak pernah mempertanyakan tugas yang dikasih?”

Nan tersenyum tipis. “Lo pernah lihat sungai nanya kenapa dia harus mengalir? Atau angin nanya kenapa dia harus berhembus? Semua udah ada jalannya. Pertanyaan itu cuma buat yang masih belum paham tempatnya di realitas.”

Arya terdiam. Di dalam dirinya, sesuatu bergetar. Entah itu kekaguman atau ketakutan ia belum tahu. Tapi satu hal yang jelas, percakapan ini telah membuka pintu yang tak bisa lagi ia tutup.

“Jadi lo cuma jalanin aja, nggak peduli hasilnya gimana?” tanya Arya, menyandarkan punggungnya ke kursi.

Nan mengangguk pelan sambil garuk-garuk belakang kepalanya. “Iya, tugas ya tugas. Masalah hasil, itu bukan urusan gue.”

Arya tertawa kecil. “Kayak program yang dikasih input, terus jalan sendiri tanpa mikirin output, ya?”

Nan menoleh, sedikit menyeringai. “Kurang lebih begitu.”

“Tapi lo pernah ngerasa tugas ini berat? Kayak tiba-tiba intensitasnya naik gitu?”

Nan menghela napas, menatap langit yang perlahan hampir menerang karena sinar bulan yang tertutup awan mulai terang menerangi malam, seakan Alam menyaksikan obrolan mereka berdua. “Ya, namanya juga manusia. Kadang ada capek mental. Tapi biasanya itu karena ada keterikatan duniawi. Kalau hati nggak bersih, tugas jadi terasa lebih berat.”

Arya mengangguk-angguk, memahami. “Jadi masalahnya bukan di tugasnya, tapi di hati yang masih kebawa perasaan pribadi.”

“Tepat. Kalau hati kuat, tugas apapun ringan.” Nan menghempaskan tangannya, membiarkan emosinya seakan menyatu dengan alam.

“Terus kalau lo sadar lagi ngerasa berat, lo ngapain? Ada trik khusus biar balik ke mode tugas tanpa beban?”

Nan tertawa pendek. “Nggak ada tips. Nanti juga normal sendiri.”

Arya menghela napas panjang, lalu ikut tertawa. “Santai banget lo.”

“Ya, buat apa dipikirin? Kalau jalan udah ditentuin, tugas juga bakal selesai pada waktunya.” Nan berdiri, meregangkan tubuh. “Yang penting, terus jalan.”

Arya diam sejenak sebelum tersenyum. “Lo udah kayak kode program yang nggak bisa error.”

“Bukan nggak bisa error,” kata Nan sambil menepuk bahu temannya. “Tapi kalau error, nanti ada yang benerin.”

Keduanya tertawa ringan, sementara langit semakin menerang. Menandakan pajar Hampir datang, dan tugas tetap berjalan, jam nenunjukan jam 3 pagi. “Ayo kita cabut” Ujar Nan

Sore Harinya, jam 3 Sore Nan dan Arya kembali ke Kafe di hari berikutnya, keduanya janjian mengerjakan tugas kuliah mereka yakni membuat tugas ekonomi tentang sejarah moneter internasional, “Jadi gimana sekarang, Nan? Lagi di fase naik apa turun?” tanya Arya sambil mengaduk tehnya pelan.

Nan menghela napas, menatap kosong ke permukaan meja kayu yang sudah mulai usang. “Datar,” jawabnya singkat.

Arya terkekeh. “Mode stabil ya? Gak naik, gak turun. Kayak orang ngegas motor tapi koplingnya ditahan.”

Arya kemudian mengangkat alis. “Iya sih, tapi kadang juga gue pikir, perasaan datar itu beneran atau cuma lo yang gak peka? Kadang kayak gak ada kemajuan kalau orang lain lihatnya, tapi juga gak ada kemunduran. Jadi bingung, ini fase baik atau buruk buat lo.”

Nan kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menatap langit. “Datar itu bisa berarti lo lagi di titik aman, tapi bisa juga tanda lo kehilangan arah. Kayak kapal di laut tenang, gak karam, tapi juga gak ke mana-mana.”

Arya tersenyum kecil. “Berarti lo harus jalan lagi, ya? Tapi pertanyaannya, ke mana?”

Nan menyeruput tehnya sebelum menjawab. “Ke mana pun asal hati lo bersih. Lo tahu kan, kalau hati bersih, Allah yang bakal tuntun langsung.”

Arya mengangguk, lalu tiba-tiba mengernyit. “Tapi, kalau hati gue gak cukup bersih buat nerima petunjuk, gimana?”

Nan menatapnya, serius. “Ya tinggal bersihin. Lo sendiri yang tahu kondisi hati lo. Kalau udah mulai ada rasa gak enak, gelisah tanpa sebab, gampang kesel, ya berarti udah waktunya.”

Arya kemudian mendesah, menggoyangkan gelas tehnya. “Berarti hati ini kayak cermin ya? Kalau berdebu, pantulan cahaya jadi buram.”

Nan tersenyum. “Pas banget. Dan kalau debunya makin tebal, cermin itu bisa kehilangan pantulan sama sekali.”

Arya kemudian mengangguk pelan. “Jadi, kalau ada orang yang hatinya bener-bener tertutup, berarti udah gak ada cerminnya lagi dong?”

Nan menggeleng. “Cerminnya masih ada, tapi dia gak mau nyadar kalau udah ketutupan. Hati yang gak pernah dirawat, lama-lama bisa mati.” sambil mengeluarkan logat sundanya.

“Terus gimana kalau hati udah mati?” Arya menatap Nan, ada sedikit kekhawatiran di matanya.

Nan tersenyum tipis. “Itu tergantung rahmat Allah. Kadang, sesuatu yang gak lo duga bisa bikin lo sadar. Ada yang kena musibah, baru bangkit. Ada yang cuma lihat kejadian kecil, tapi tiba-tiba hatinya terbuka. Intinya, kalau Allah masih kasih kesempatan buat sadar, berarti masih ada harapan.”

Arya menghela napas. “Berarti yang penting, jangan nunggu hidayah turun sendiri. Tapi juga gak bisa maksain hidayah datang.”

Nan mengangguk. “Iya. Jalan aja. Kalau lo bersihin hati, lo bakal lebih peka sama petunjuk yang datang. Lo gak perlu nyari jauh-jauh, karena kalau waktunya tiba, hidayah itu sendiri yang bakal datang.”

Arya tersenyum, menatap teh di hadapannya. Rasanya, meskipun langit sore agak mendung, hatinya mulai menemukan titik cahaya.

Nan menyesap kopinya, lalu menatap Arya dengan tatapan penuh arti. “Bro bisa beliin gua donat kentang dua biji.” ucapnya.

“Kalau perang dunia ketiga benar-benar terjadi, kamu bakal berpihak ke siapa?” tanya Arya tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh makna.

Nan menghela napas, menatap keluar jendela sejenak, sambil menunggu pesanan donat kentangnya. “Aku nggak bakal berpihak ke siapa pun. Perang sendiri itu udah jadi bukti kalau manusia gagal menjaga keseimbangan.”

Arya mengangguk pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Tapi kan tetap ada skenario yang harus terjadi. Setiap pilihan yang diambil manusia membentuk jalannya sendiri. Kayak dadu yang kita lempar, tetap akan mengarah ke yang seharusnya.”

Nan tersenyum tipis. “Iya, meskipun kita punya kehendak, akhirnya kita tetap berjalan di jalur yang sudah ditentukan. Kita memilih, tapi hasil akhirnya tetap dalam pola yang lebih besar.”

Arya mengaduk kopinya, lalu menatap Nan. “Lalu, menurutmu pilihan itu ilusi? Kalau ujungnya tetap ke arah yang sama, berarti nggak ada salah pilih. Semua jalan tetap menuju hasil yang udah digariskan.”

Nan menggeleng. “Nggak gitu. Kita memang punya pilihan, dan pilihan itu mempengaruhi perjalanan kita. Takdir itu kayak tujuan akhir, sementara nasib adalah jalannya. Ada yang sampai, ada yang nggak. Kalau gagal memahami benar dan salah, seseorang bisa tersesat sebelum mencapai takdirnya.”

Arya mengernyitkan dahi. “Jadi ada yang nggak sampai? Karena nasib buruk?”

“Iya, nasib buruk itu akumulasi dari pilihan-pilihan buruk yang dibuat seseorang. Kalau terus melakukan keburukan, akhirnya akan menuai akibatnya. Masalahnya cuma soal waktu, apakah dipercepat atau ditunda. Itu tergantung Tuhan,” jawab Nan sambil mengetukkan jarinya ke meja.

Arya terdiam sejenak, lalu menatap lurus ke depan. “Tapi ada juga yang berhasil menghindari nasib buruknya, kan?”

“Tentu. Ingat cerita sahabat tentang, Nabi Muhammad yang pernah meramalkan kematian seseorang karena dipatuk ular? Tapi orang itu nggak meninggal karena punya amalan yang mengubah nasibnya. Itu bukti kalau takdir masih punya fleksibilitas. Bukan garis lurus yang panjangnya tetap, tapi bisa maju atau mundur tergantung usaha di nasib.”

Arya tersenyum tipis. “Jadi, meskipun takdir itu udah ada, manusia tetap harus berusaha. Nggak bisa cuma pasrah aja.”

Nan mengangguk. “Iya. Seimbang. Usaha dan penerimaan harus berjalan beriringan. Jodoh, rezeki, dan kematian udah ditetapkan, tapi bagaimana proses kita menjalaninya bisa berubah. Kalau jodoh belum tepat, ya akan berpisah. Kalau rezeki memang segitu, berapapun kita usaha, tetap akan segitu. Kalau dapat lebih, nanti akan dibersihkan dengan cara lain.”

Arya menghela napas panjang. “Jadi kesimpulannya, manusia nggak boleh maksa sesuatu yang bukan bagiannya. Yang lebih penting itu memperbaiki nasib dan berusaha, bukan ngotot pada sesuatu yang bukan jalannya.”

“Tepat,” jawab Nan mantap. “Karena pada akhirnya, semua akan kembali ke jalur yang seharusnya.”

Mereka kembali menyesap kopi masing-masing, menikmati langit sore yang mulai mendung. Obrolan mereka mungkin tak mengubah dunia, tapi setidaknya, memberi pemahaman baru tentang bagaimana menjalani hidup dengan lebih bijaksana.

Rama dan Bayu kemudian datang dan duduk di meja kayu yang sama.

“Lagi ngobrolin apaan nih?” Ucap Rama, Bayu tiba-tiba ngejatuhin tas nya ke meja seperti menggebrak “Cara terbaik buat ngendaliin nafsu apaan sih? puasa ya?” Bayu bertanya sambil menggoyangkan gelas teh Arya yang tinggal separuh lalu menyeruputnya.

Nan mengangguk. “Iya. Puasa itu bukan cuma nahan lapar dan haus. Tapi juga nahan ego, nahan marah, nahan keinginan yang gak perlu.”

Rama menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Tapi banyak orang yang puasa cuma buat formalitas. Udah nahan makan dan minum, tapi tetap aja gampang emosi atau masih ngelakuin hal yang nggak sejalan sama tujuan puasanya. Kalau gitu, gimana caranya biar puasa itu benar-benar bisa jadi latihan buat jiwa?”

Nan tersenyum tipis. “Ya, balik lagi ke niat. Kalau puasanya cuma buat ikut-ikutan, ya hasilnya nggak bakal jauh dari sekadar nahan lapar. Tapi kalau niatnya buat bersihin hati dan ngerem nafsu, efeknya bakal beda.”

Bayu mengangguk pelan. “Jadi kuncinya bukan di puasanya sendiri, tapi di kesadaran pas ngejalaninnya.”

“Benar. Puasa itu cuma metode. Intinya ada di dalam diri kita sendiri,” kata Nan. “Makanya, kalau puasa nggak disertai muhasabah atau refleksi diri, ya nggak bakal ada perubahan.”

Arya menatap langit yang mulai gelap pekat tanda hujan mau turun. “Berarti bukan sekadar nggak makan dan minum, tapi juga harus sadar kenapa kita ngelakuin itu.”

“Iya. Kayak lo nyetir mobil tapi nggak tahu tujuannya ke mana, bakal cuma muter-muter doang,” Nan menjelaskan. “Puasa itu alat buat nyetir diri sendiri. Kalau niatnya bener, lo bakal sampai ke tempat yang lebih baik. Kalau nggak, ya cuma capek doang.”

Rama menghela napas. “Tapi godaan buat nurutin nafsu itu gede banget. Kadang kita sadar kalau sesuatu nggak baik, tapi tetap aja dilakuin, tuh kayak bayu, gak jelas marah-marah nih, minuman orang di seruput juga wkwkwk.”

Nan tersenyum kecil. “Itu karena nafsu nggak bisa dilawan dengan logika doang. Nafsu itu butuh dikendalikan, bukan cuma dipahami. Makanya puasa itu latihan yang efektif, karena lo langsung ngerasain efeknya. Lo bisa bedain mana yang kebutuhan, mana yang cuma keinginan.”

“Jadi, kalau ada orang yang ngerasa puasanya nggak berdampak, itu berarti dia belum benar-benar masuk ke esensinya?” tanya Rama.

Nan mengangguk. “Bisa jadi. Atau mungkin dia belum bener-bener siap buat ninggalin hal-hal yang bikin dia jauh dari kesadaran itu. Kadang manusia nggak sadar kalau dirinya masih terikat sama dunia, sampai akhirnya sesuatu terjadi dan dia baru nyadar.”

Bayu terdiam sejenak, lalu berkata, “Berarti, untuk bisa benar-benar mengendalikan nafsu, seseorang harus rela melepaskan apa yang menahannya?”

Nan tersenyum lagi. “Iya. Tapi bukan berarti ninggalin dunia, ya. Justru dunia harus tunduk sama kita, bukan kita yang jadi budaknya. Itulah kenapa orang yang benar-benar paham, dia bisa hidup di dunia tanpa terikat olehnya.”

Bayu mengangguk pelan. “Jadi, kalau kita bisa ngontrol diri, dunia juga bakal lebih mudah kita kendalikan.”

Nan menatapnya dengan penuh arti. “Tepat. Dan semuanya dimulai dari sini.” Dia menunjuk dadanya. “Hati yang bersih adalah kunci. Kalau hati kita nggak dikendalikan nafsu, dunia nggak bisa menguasai kita.”

Hari semakin sore, tapi bagi mereka, obrolan ini lebih dari sekadar diskusi. Ini adalah perjalanan memahami diri sendiri, sedikit demi sedikit, menuju kesadaran yang lebih dalam. (red)

Tentang Penulis Redaksi

Gravatar Image
Team Redaksi