Seputaremas.co.id | 12 Januari 2025 Jakarta – Nanan Suhendar, Seorang Pengamat Hubungan Geopolitik dan Sosial, Dalam perspektif pengamatan politiknya, Menegasakan bahwa Amerika dan Eropa saat ini sedang menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan stabilitas sistem keuangan mereka yang berbasis fiat. Sebab sistem fiat yang selama ini bergantung pada kepercayaan publik mulai goyah, terutama karena meningkatnya kesadaran dunia internasional tentang risiko inflasi dan devaluasi permanen dari kepemilikan uang yang mereka miliki bila masih menerapkan sistem cadangan devisa, ketergantungan pada utang yang bergantung pada sistem bunga di perburuk dengan sistem floating rate (nilai tukar mengambang) telah memperburuk ketimpangan nilai tukar mata uang antar negara maju dan berkembang, yang kini semakin menjadikan terjadinya dominasi akibat dari ketergantungan pada mata uang tertentu.
Dalam konteks ini, emas dan perak muncul sebagai solusi utama yang dapat memulihkan kepercayaan bagi mereka pemegang mata uang dolar dan euro, sebab kedua mata uang tersebut di anggap sebagai sentralisasi alat kekuasaan karena menggunakan sistem ekonomi yang memungkinkan kedua mata uang tersebut agar dapat terus di cetak tanpa batasan, karena menerapakn sistem MMT 100% dalam konsep price stability, holder & saver, floating rate dan interes based sistem, dimana konsep ekonomi semacam ini sudah tidak akan di gunakan lagi, oleh karena itu penggunaan emas dan perak akan jadi solusi bagi mereka para pemegang dolar dan euro dari risiko kehancuran nilai yang mana dengan menggunakan emas dan perak, mereka tetap dapat bertransaksi ke blok ekonomi berbasis System Stability Settlement sebab baik emas maupun perak, keduanya memiliki nilai intrinsik yang telah diakui selama ribuan tahun.
Namun, keberhasilan transisi menuju sistem yang lebih stabil melalui emas dan perak ini sangat bergantung pada tingkat kesadaran warga negara barat itu sendiri. Jika kesadaran publik tentang pentingnya mata uang yang berbasis nilai tidak meningkat, maka sulit bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang dapat mendukung perubahan tersebut. Tanpa dukungan publik, setiap upaya untuk kembali ke sistem berbasis emas dan perak hanya akan menghadapi resistensi besar, baik di tingkat domestik maupun internasional.
Selain itu, masalah sosial seperti ketimpangan, krisis kepercayaan, dan polarisasi politik telah memperburuk situasi. Fondasi tatanan sosial di negara-negara barat tersebut mulai rapuh, dengan masyarakat yang lebih terfokus pada lingkungan sosial dan identitas daripada visi kolektif yang mendukung kebijakan ekonomi jangka panjang, kasarnya lingkungan sosial berdiri di atas fondansi kepercayaan yang rapuh karea mengandalkan materi yakni uang itu sendiri. Bahkan jika tokoh seperti Elon Musk dan Donald Trump bersatu untuk mendorong kebijakan revolusioner, mereka tetap membutuhkan dukungan dari institusi, warga negara, dan aliansi internasional untuk mencapai keberhasilan.
Tanpa landasan sosial yang kuat, kebijakan ekonomi apa pun akan sulit diterapkan secara efektif. Kesadaran kolektif masyarakat adalah kunci untuk memulihkan stabilitas ekonomi dan sosial, dan dalam konteks ini, mengandalkan emas dan perak sebagai pilar ekonomi bisa menjadi langkah penting. Namun, transisi tersebut memerlukan strategi yang matang, partisipasi publik, dan waktu yang cukup untuk membangun kembali kepercayaan yang telah terkikis.
Dolar dan euro, sebagai mata uang utama dunia dan cadangan devisa banyak negara telah berakhir, karena itu tidak akan dapat digunakan dalam konsep ekonomi System Stability Settlemnet, hal itu karena dolar dan euro memiliki keterbatasan fundamental untuk mengadopsi sistem seperti Local Currency Settlement (LCS), Local Currency Trade (LCT), atau Direct Settlement. “Keterbatasan ini disebabkan oleh dasar konsep ekonomi mereka yang berbeda dengan prinsip sistem stability settlement, yang mana konsep ini mengutamakan keselarasan antara nilai mata uang dan hasil ekonomi nyata. intinya Euro dan Dolar tidak bisa di terima dalam konsep ekonomi ini”
“Dalam Sistem stability settlement, menekankan bahwa pencetakan uang, meskipun tidak dijamin oleh emas, tetap harus mencerminkan nilai yang sesuai dengan output ekonomi, baik barang maupun jasa, yang nyata dan terukur. Ketidakseimbangan antara jumlah uang yang beredar dan nilai ekonomi yang dihasilkan akan langsung menciptakan konsekuensi berupa devaluasi mata uang secara tajam. Dengan kata lain, mata uang dalam sistem ini bergantung sepenuhnya pada produktivitas ekonomi dan tidak memungkinkan manipulasi nilai tanpa dampak langsung terhadap stabilitas.”
Sebaliknya, “dolar dan euro telah lama beroperasi dalam kerangka yang lebih terfokus pada peran global dimana mereka berfungsi sebagai mata uang cadangan internasional. Sistem ini memungkinkan pencetakan uang yang melampaui nilai ekonomi domestik atau riil karena didukung oleh permintaan internasional dan kepercayaan pasar global (MMT100% tapi berbasis sentralisasi ekonomi)”. Namun, dalam skema LCS atau LCT yang mengandalkan produktivitas riil masing-masing negara, keunggulan ini justru menjadi kelemahan. Karena dolar dan euro tidak mencerminkan nilai ekonomi domestik suatu negara secara langsung, inggris yang sudah keluar Zona Euro mungkin bisa, Namun Negara Barat yang masih menggunakan dolar dan euro, mata uang tersebut tidak dapat digunakan secara efisien dalam transaksi lintas negara yang berbasis nilai lokal atau hasil ekonomi riil karena merupakan mata uang kesatuan dari beberapa negara secara langsung, mereka juga tidak dapat menerapakan MMT100% secara personal, karena mata uangnya masih mewakili banyak bangsa dan negara secara langsung. “Sebagai contoh, Krisis eropa beberapa kali terjadi akibat ketimpangan akses ekonomi dan mata uang, menyebabkan perselisihan dan kecemburuan negara sesama anggota. sementara kebijakan moneter tidak dapat di pukul rata selaras karena kebutuhan lokal ekonomi masing-masing pada dasarnya memang berbeda, sentralisasi ekonomi itu akan gagal di era saat ini, begitu juga dengan kondisi amerika dan negara bagian lainnya saat ini akan berebut kepentigan dan pengaruh yang sudah bisa kita lihat dari saat ini”
Selain itu, keberhasilan LCS, LCT, dan Direct Settlement bergantung pada PDB realtime, yang lebih mencerminkan nilai ekonomi sebenarnya di setiap negara. Dalam sistem ini, setiap transaksi lintas negara menjadi cerminan langsung dari produktivitas ekonomi masing-masing pihak, sehingga menghilangkan kebutuhan akan mata uang perantara seperti dolar atau euro.
“Artinya, Tanpa basis yang mencerminkan nilai ekonomi domestik yang stabil, nilai mata uang akan ter devaluasi secara tajam, oleh karena itu dolar dan euro tidak dapat memenuhi syarat dasar untuk berfungsi dalam skema ini, karena tiap negara anggota euro memiliki kedaulatan ekonomi masin-masing yang tidak dapat di bagi rata baik produktifitas, kemampuan ekonomi maupun kondisi politiknya, kalau masalah ini bukan masalah, mana mungkin inggris keluar dari zona euro kan.”
Dengan demikian, sistem stability settlement yang diusung dengan konsep LCS, LCT, dan Direct Settlement menawarkan paradigma baru yang lebih berorientasi pada nilai riil dan transparansi (Standar nilai ini di tentukan oleh jumlah kuantitas nilai ekonomi, bukan Standar Harga yang di tentukan oleh jumlah akumulasi uang). Ini menjadi tantangan besar bagi dolar dan euro, yang telah lama beroperasi dalam sistem berbasis dominasi dan kepercayaan global, yang selama ini telah berjalan yang bukan mencerminkan produktivitas ekonomi domestik secara nyata, tapi oleh peran perusahaan global dan multinasional di banyak negara di dunia yang mengikis kemandirian ekonomi di banyak negara berkembang, sampai lebaran kuya gak akan maju-maju kalau begini Bos!
“Dalam sistem stability settlement, nilai ekonomi didasarkan pada keseimbangan antara hasil nyata dari barang dan jasa dengan transaksi yang terjadi, baik domestik maupun internasional. Sistem ini memberikan kejelasan terhadap arus perdagangan, memungkinkan setiap negara memahami posisi ekonomi mereka dengan lebih transparan. Ketika harga barang dan jasa mengalami kenaikan signifikan, pemerintah harus bertindak untuk menganalisis sumber ketidakseimbangan tersebut.
Misalnya, jika kenaikan harga disebabkan oleh tingginya volume ekspor, pemerintah harus mengevaluasi apakah manfaat ekspor itu kembali ke dalam negeri melalui investasi, penciptaan lapangan kerja, atau penguatan cadangan devisa, atau justru mengarah pada defisit ketersediaan barang di pasar domestik. Sebaliknya, jika kenaikan harga dipicu oleh lonjakan impor, pemerintah perlu menilai bagaimana ketergantungan pada barang impor memengaruhi keseimbangan neraca pembayaran dan stabilitas mata uang.
Sementara itu, Transaksi bilateral dalam sistem ini memberikan keuntungan dengan memudahkan penghitungan surplus dan defisit perdagangan antara dua negara. Dengan mengetahui jumlah ekspor dan impor secara langsung, negara dapat merancang kebijakan perdagangan yang lebih strategis, mengurangi ketergantungan pada pasar multilateral global yang sering kali menyembunyikan ketidakseimbangan dalam rantai pasokan global, kecuali multilateral dalam blok ekonomi seperti BRICS saat ini.
Sistem ini juga menuntut stabilitas domestik yang tinggi, di mana hasil ekonomi harus tetap seimbang dengan konsumsi masyarakat. Ketika konsumsi berlebihan atau penurunan pasokan terjadi, stabilitas internal bisa terganggu, yang pada gilirannya memengaruhi daya tawar negara dalam hubungan internasional. Ini menekankan perlunya pengawasan berkelanjutan terhadap transaksi ekonomi di berbagai level, memastikan bahwa setiap keputusan perdagangan tidak hanya menguntungkan secara jangka pendek tetapi juga mendukung keberlanjutan ekonomi jangka panjang. (red)