Beragama Apakah Melanggar Kemanusiaan? Bagaimana Harusnya Umat beragama Merespon ini?

by -331 Views

Seputaremas.co.id | 7 Januari 2025 Jakarta – Pencarian manusia dalam memahami agama adalah perjalanan panjang yang mencerminkan kerinduan mendalam terhadap makna, tujuan, dan hubungan dengan sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri. Selama ribuan tahun, manusia telah berusaha menjawab pertanyaan mendasar tentang asal-usul, eksistensi, dan apa yang terjadi setelah kehidupan ini. Proses ini dimulai dari keyakinan dan kepercayaan sederhana hingga berkembang menjadi sistem agama yang kompleks.

Awalnya, keyakinan manusia sering muncul dari pengamatan terhadap alam sekitar, matahari, bulan, bintang, hujan, dan musim. Mereka menghubungkan fenomena ini dengan kekuatan gaib atau entitas ilahi yang mengatur kehidupan. Kepercayaan ini menjadi bagian dari budaya mereka, menuntun pada ritual dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Ketika kepercayaan ini semakin mengakar, sistem nilai dan moralitas mulai terbentuk, dan komunitas-komunitas manusia mencari cara untuk mewujudkan harmoni dengan keyakinan yang mereka anut.

Pada akhirnya, kepercayaan tersebut berkembang menjadi agama, sebuah sistem keyakinan yang terorganisir dengan kitab suci, aturan, dan ajaran moral yang jelas. Agama menjadi landasan kehidupan, menawarkan pedoman tentang bagaimana hidup, bagaimana berhubungan dengan sesama, dan bagaimana menyembah Sang Pencipta. “Dari sinilah muncul agama-agama besar dunia yang kita kenal saat ini, masing-masing memiliki sejarah, pandangan kosmologis, dan prinsip moral yang unik.

Namun, yang menarik dari perjalanan ini adalah sifat manusia yang selalu bertanya, merenung, dan mencari jawaban. Dalam setiap agama, selalu ada ruang untuk refleksi, interpretasi, dan bahkan perbedaan pandangan, yang menunjukkan bahwa pencarian manusia akan kebenaran adalah perjalanan yang dinamis. “Pada dasarnya, pencarian ini mencerminkan akan esensi kemanusiaan itu sendiri: rasa haus akan makna dan kerinduan untuk terhubung dengan yang transenden.”

“Agama, dalam bentuk apa pun itu, adalah warisan besar dari perjalanan panjang ini, tetapi pada akhirnya, pencarian itu tidak pernah sepenuhnya selesai. Karena manusia tidak hanya ingin memahami agama, tetapi juga ingin memahami dirinya sendiri, yang dalam konteks yang lebih besar dari alam semesta, dimana kesempurnaan dalam Suatu Agama adalah, dimana ketika Agama dapat selaras dengan penganut atau pemeluknya”

“Oleh karena itu, Pemaksaan terhadap suatu keyakinan, kepercayaan, atau agama adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang mendasar, yaitu kebebasan beragama dan berkeyakinan.” Dalam konteks bangsa Indonesia, yang kaya dengan budaya, kepercayaan lokal, dan agama yang telah mengakar selama ribuan tahun, pemahaman tentang spiritualitas bukan hanya aspek personal, tetapi juga bagian integral dari identitas budaya dan sejarah.

Indonesia tumbuh dari ragam kepercayaan lokal yang mendalam, yang mencerminkan hubungan erat manusia dengan alam, leluhur, dan kehidupan spiritual. “Ketika agama-agama besar masuk ke Nusantara, interaksi ini menciptakan asimilasi budaya yang unik. Namun, pada titik tertentu dalam sejarah, kepercayaan lokal mulai ditekan oleh sistem yang mengutamakan agama-agama besar. Hal ini menyebabkan banyak tradisi lokal kehilangan ruangnya, terpinggirkan, atau bahkan dianggap menyimpang dari norma yang diterapkan.”

Ironisnya, “Setelah Kepercayaan dan Keyakinan Lokal mulai Mengadopsi Agama, mendapat pencerahan dan kesempurnaan beragama, dengan menyelaraskan sesuai nilai-nilai Lokal, dengan cara Menyelaraskan Ajaran dan Pemahaman Baru dengan Nilai Lokal sesuai budaya, Kini, muncul fenomena kembali yang justru membalik narasi tersebut. dimana Beragama, yang sebelumnya dianggap sebagai kewajiban untuk membangun moralitas dan keteraturan sosial, justru dikritik sebagai pelanggaran terhadap kemanusiaan itu sensiri dalam pandangan globalis, karena mewajibkan harus beragama.” Mereka berargumen bahwa sistem keagamaan membatasi kebebasan individu, hak kemanusiaan, sehingga muncul ide untuk menghapuskan agama, keyakinan, atau kepercayaan sepenuhnya dari kehidupan manusia.

“Ini adalah pendekatan yang sangat problematik. Globalisasi sering membawa nilai-nilai universal yang tidak selalu sejalan dengan akar budaya lokal. Upaya untuk menghilangkan kolom agama atau keyakinan untuk tidak beragama, sama saja dengan menghapus warisan sejarah, identitas kolektif, dan nilai-nilai moral yang telah membimbing masyarakat selama ribuan tahun.” Dalam konteks ini, Menurut Nanan Suhendar seorang pemerhati kebijakan publik dan sosial menerangkan, “globalis tidak hanya ingin mengubah sistem kepercayaan, tetapi juga telah mencoba meredefinisi esensi kemanusiaan berdasarkan pandangan yang ersifat materialistis dan sekuler.”

Namun, penting untuk diingat bahwa “keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia telah menjadi kekuatan utama bangsa ini. Pancasila sebagai dasar negara menekankan bahwa negara menghormati dan melindungi setiap warga negara untuk beragama sesuai dengan keyakinannya. Dengan kata lain, Indonesia dibangun di atas prinsip bahwa keberagamaan adalah elemen penting dari kehidupan bermasyarakat, bukan sesuatu yang bertentangan dengan hak asasi manusia.”

Sehingga “Upaya untuk menghapus kolom agama atau keyakinan agama bagi individu sama artinya dengan mencabut akar kehidupan spiritual manusia. Ini bukan hanya ancaman terhadap keberagaman budaya, tetapi juga terhadap integritas moral dan sosial bangsa. Jika globalis berusaha membentuk dunia tanpa agama, tantangan kita adalah menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan pelestarian nilai-nilai luhur yang telah membentuk peradaban kita.” terang Nanan.

Sejarah Perkembangan Agama di Nusantara

“Hilangnya Budaya Islam Nusantara, Dari Kebersamaan di Langgar ke Individualisme Media, Yasinan mau di Hilangkan? Khitanan juga? “ terang Nanan.

Seperti kita ketahui, Revolusi industri media telah membawa perubahan besar dalam budaya masyarakat, termasuk budaya Islam di Nusantara. “Generasi milenial mungkin masih mengingat masa-masa belajar agama di langgar atau musala setiap sore hingga malam hari. Tanpa adanya televisi dan gawai, pergi ke musala untuk nderes (tadarus Al-Qur’an) atau ngaji menjadi rutinitas yang tidak tergantikan.”

“Saat itu, anak-anak berlomba-lomba menghafal surat-surat pendek dengan makhraj dan tajwid yang tepat. Berebut mikrofon untuk azan atau iqamah menjadi hal yang biasa. Namun, kini, budaya itu mulai tergeser. Anak-anak yang dulunya menghabiskan waktu di musala, sekarang lebih sering terpaku pada layar televisi dan gawai di waktu-waktu yang sama. Prime time, yang dulu menjadi waktu belajar agama, kini dipenuhi oleh tayangan favorit yang menarik perhatian anak-anak dan remaja. Industri media, dengan dorongan rating dan iklan, telah menciptakan prioritas baru yang meminggirkan pendidikan agama, yang lebih miris, Beragama sekarang di sebut Melanggar hak asasi kemanusiaan? SIA Goblok wkwkwk.”

Perubahan ini, meskipun tidak selalu dianggap serius oleh sebagian orang, memiliki dampak yang besar. dimana “Generasi yang dulunya tumbuh dengan nilai-nilai agama yang kuat sekarang menghadapi risiko menjadi hanya sekadar (Islam KTP.) Pendidikan keagamaan mulai kurang diminati karena dianggap tidak memberikan kesejahteraan materi. Banyak orang tua memilih menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah umum atau kejuruan yang dinilai lebih menjanjikan masa depan. Di luar jam sekolah, anak-anak lebih sibuk dengan gawai daripada menghabiskan waktu untuk belajar agama, ini lah Program Iluminati itu, ISLAM KTP SAJA SEKARANG TIDAK BOLEH.” tegas Nanan.

Akibatnya, “pola pikir masyarakat menjadi pragmatis. Agama sering dipelajari secara instan dan tekstual, tanpa pemahaman mendalam. Hal ini menciptakan konflik sosial yang terus berkembang, termasuk perdebatan sesama muslim di media sosial yang lebih sering diwarnai oleh ego dan fanatisme daripada semangat persaudaraan. Sikap seperti ini kontras dengan nilai-nilai Islam Nusantara yang dahulu mengutamakan kebersamaan, saling menghormati, dan pengabdian.” terang Nanan.

Ideologi Transnasional dan Perubahan Budaya Beragama

Di tengah pergeseran ini, Menurut Nanan, “muncul fenomena lain yang semakin mengikis budaya Islam Nusantara: ideologi transnasional. Budaya Islam lokal, yang kaya akan nilai-nilai tradisional dan kebangsaan, mulai tergantikan oleh gaya hidup dan pandangan yang cenderung puritan ala Timur Tengah. Cara berpakaian, bersosialisasi, hingga menyikapi persoalan keagamaan berubah mengikuti pola-pola baru yang dianggap lebih modern atau autentik.” terang Nanan,

“Agama itu Membawa Kesempurnaan, bila saat seseorang Beragama, Seseorang semakin Memahami dirinya, bukan malah sebaliknya, semakin beragama semakin asing akan siapa dirinya?” tegasnya.

Kemajuan teknologi mempercepat proses ini. “Kajian agama daring (online) menjadi pilihan utama, menggeser tradisi belajar langsung di pondok pesantren atau musala. Sayangnya, interaksi satu arah yang ditawarkan oleh platform digital sering kali menghilangkan nilai kritis dan pengawasan dalam belajar agama. Banyak orang tanpa kapabilitas keagamaan yang memanfaatkan media sosial untuk menjadi pendakwah karbitan, memperkuat popularitas pribadi alih-alih menyebarkan ajaran yang mendalam.” tegas Nanan.

“Ideologi transnasional ini sering menawarkan pendekatan instan, mengabaikan konteks dan esensi ajaran Islam. Generasi muda lebih tertarik pada kajian yang praktis dan cepat, dibandingkan dengan mendalami kitab-kitab klasik atau belajar membaca Al-Qur’an secara sistematis. Keadaan ini semakin diperparah dengan kurangnya pengajar agama yang bersedia mengabdikan diri di langgar. Banyak yang memilih bekerja di sektor swasta karena tuntutan hidup yang semakin berat.”

Merindukan Budaya Islam Nusantara

Budaya Islam Nusantara yang pernah menjadi “ciri khas kehidupan masyarakat kini tinggal kenangan bagi banyak orang. Dulu, belajar agama tidak hanya menjadi kewajiban, tetapi juga hiburan yang menyenangkan bersama teman-teman. Kini, budaya itu tergantikan oleh individualisme yang dicetak oleh industri media. Generasi sekarang cenderung mengabaikan aspek spiritual dan sosial, fokus pada kesuksesan material semata.”

“Penjajahan budaya yang dibalut dengan agama telah menciptakan konflik sosial baru. Media, dengan kecanggihan algoritma dan orientasi komersial, kerap memanfaatkan perbedaan pandangan untuk menciptakan sensasi. Hal ini semakin menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai asli yang menekankan kebersamaan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap keberagaman, bahkan Agama Di Sentralisasi?.” tegas Nanan.

“Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi kita untuk mengingat dan melestarikan kembali budaya Islam Nusantara. Sebuah budaya yang tidak hanya memperkaya spiritualitas, tetapi juga menguatkan identitas dan persatuan bangsa di tengah arus perubahan global yang semakin deras. sadar atau tidak, Islam Saat ini yang sudah di sentralisasi justru semakin intoleran, jangankan keberagaman agama di hargai, keberagaman nilai-nilai yang sama se agama saja di kafir-kafirkan” tegas Nanan.

Ingatlah, “Hadis Nabi Muhammad saw yang sering dikutip mengenai pembagian umat Islam menjadi beberapa kelompok tercantum dalam berbagai kitab hadis, salah satunya diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, dan Imam Ahmad. Berikut adalah penjelasan hadis tersebut:

Isi Hadis

Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu.” Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”
(HR. Tirmidzi, no. 2641; HR. Abu Dawud, no. 4597)

Makna Hadis

Hadis ini menggambarkan bahwa umat Islam di masa depan akan mengalami perpecahan dalam hal keyakinan dan amalan. Berikut adalah beberapa poin penting terkait penafsiran hadis ini:

  1. Perpecahan dalam Keyakinan
    Perpecahan yang dimaksud tidak hanya berkaitan dengan perbedaan pendapat dalam hal fiqh (hukum), tetapi lebih kepada perbedaan mendasar dalam aqidah (keyakinan). Kelompok yang menyimpang adalah mereka yang meninggalkan prinsip-prinsip Islam yang benar, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat.
  2. Kelompok yang Selamat (Al-Firqah An-Najiyah)
    Kelompok yang selamat adalah mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah saw dan jalan para sahabat. Hal ini menekankan pentingnya kembali kepada ajaran Islam yang murni, tanpa tambahan atau pengurangan yang menyimpang.
  3. Bukan Pembenaran untuk Fanatisme
    Hadis ini bukan pembenaran untuk menjustifikasi bahwa satu kelompok tertentu adalah yang paling benar secara mutlak, apalagi untuk menyesatkan kelompok lain. Sebaliknya, hadis ini menjadi pengingat agar umat Islam senantiasa introspeksi diri dan berusaha menjaga persatuan dengan tetap berpegang pada ajaran yang benar.

Konteks Sejarah dan Relevansi

Perpecahan umat Islam sudah mulai terlihat setelah wafatnya Rasulullah saw. Dalam sejarah, berbagai aliran dan sekte muncul dengan interpretasi yang berbeda-beda terhadap ajaran Islam. Namun, perbedaan ini tidak seharusnya memecah belah umat. “Islam mengajarkan bahwa keragaman bisa menjadi rahmat jika dikelola dengan baik dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip pokok agama.”

Pesan dari Hadis

  1. Pentingnya Memahami Islam dengan Ilmu
    Umat Islam harus belajar agama dengan benar, berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw Dengan pemahaman yang benar, umat dapat menghindari penyimpangan.
  2. Menghindari Sikap Ekstrem
    Hadis ini mengajarkan umat Islam untuk menjauhi sikap ekstrem yang bisa menjerumuskan mereka ke dalam penyimpangan.
  3. Mengedepankan Persatuan
    Meski ada perbedaan, umat Islam tetap diwajibkan menjaga persaudaraan dan menghindari pertikaian. Perpecahan tidak seharusnya menjadi alasan untuk saling bermusuhan.

“Hadis ini adalah peringatan agar umat Islam waspada terhadap perpecahan dan tetap berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni. Dengan mempelajari Islam dari sumber yang terpercaya dan menjauhi fanatisme, umat dapat menjaga persatuan dan menghindari penyimpangan dalam ajaran agama.”

Prinsip-prinsip Islam yang benar sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat, adalah;

Prinsip IslamPenjelasanContoh Implementasi
Tauhid (Keimanan)Keyakinan kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, tidak menyekutukan-Nya.Menjaga ibadah seperti salat, doa, dan zikir hanya kepada Allah, menghindari syirik.
Ibadah yang MurniMelaksanakan ibadah sesuai dengan ajaran Rasulullah Muhammad saw tanpa penambahan atau pengurangan (ittiba’).Salat, puasa, zakat, dan haji sesuai tuntunan Al-Qur’an dan hadis sahih.
Akhlak yang MuliaMeneladani akhlak Rasulullah Muhammad saw dalam kehidupan sehari-hari, seperti jujur, amanah, sabar, dan kasih sayang.Menghormati orang tua, berbuat baik kepada tetangga, dan adil dalam setiap keputusan.
Persaudaraan (Ukhuwah)Membangun persaudaraan di antara umat Islam dengan dasar iman, serta menghormati perbedaan.Membantu saudara seiman yang membutuhkan, menjalin silaturahmi, dan menghindari permusuhan.
KeadilanBersikap adil dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam keluarga, pekerjaan, maupun masyarakat.Tidak memihak dalam memutuskan perkara, berlaku adil terhadap semua pihak, tanpa memandang latar belakang.
KesederhanaanMenjalani hidup sederhana tanpa berlebihan dalam harta, makanan, atau gaya hidup.Menghindari pemborosan, bersedekah dari rezeki yang diberikan Allah.
Ilmu dan AmalMenuntut ilmu agama dan dunia, lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.Mengaji Al-Qur’an, belajar hadis, serta mempraktikkannya dalam ibadah dan perilaku.
Musyawarah (Syura)Mengutamakan dialog dan diskusi dalam memutuskan hal-hal penting, baik dalam keluarga maupun masyarakat.Mengadakan pertemuan keluarga atau komunitas untuk mencapai keputusan bersama.
Sabar dan SyukurBersabar dalam menghadapi cobaan dan bersyukur atas nikmat yang Allah berikan.Tetap teguh dalam musibah dan mengucapkan “Alhamdulillah” atas setiap kebaikan.
Menghindari Bid’ahMenjauhi hal-hal yang tidak diajarkan oleh Rasulullah Muhammad saw dalam urusan agama.Mempraktikkan ibadah seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an dan hadis, tanpa tambahan atau inovasi baru.
Amar Ma’ruf Nahi MunkarMengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran sesuai dengan kemampuan masing-masing.Menasihati orang yang melakukan kesalahan dengan cara yang bijak, ikut serta dalam kegiatan sosial Islami.
Keadilan SosialMemperhatikan hak-hak masyarakat, terutama yang lemah, serta memastikan kesejahteraan bersama.Berbagi rezeki dengan fakir miskin, mendukung keadilan dalam hukum dan kebijakan publik.
Menjaga AmanahMemegang teguh kepercayaan yang diberikan oleh orang lain, baik dalam tugas maupun tanggung jawab.Melaksanakan tugas kantor dengan jujur, menjaga rahasia, dan tidak menyalahgunakan kepercayaan.
Menghindari Dosa BesarMenjauhi tindakan yang jelas dilarang dalam Islam, seperti riba, zina, mencuri, dan minum khamr.Tidak bertransaksi dengan riba, menggunakan uang kertas, menabung di bank, menjaga kehormatan diri, dan menghindari perbuatan tercela.
Menjaga SilaturahmiMemelihara hubungan baik dengan keluarga, teman, dan sesama manusia tanpa memutuskan tali persaudaraan.Mengunjungi saudara, memberikan bantuan kepada kerabat yang membutuhkan.

Tabel ini mencakup prinsip-prinsip utama yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad saw dan para sahabat untuk menjaga keimanan, ibadah, akhlak, dan hubungan sosial umat Islam.

Bagaimana Islam Seharusnya? Islam yang Full Agama atau Nilai-Nilai lokal yang mengadopsi Agama?

Pertanyaan ini sering menjadi bahan diskusi di berbagai kalangan karena menyentuh hubungan antara universalitas ajaran agama dan kekhasan budaya lokal.

1. Agama Harus Diikuti Sepenuhnya Sesuai Ajaran Asli (Murni)

  • Penjelasan:
    Islam sebagai agama wahyu memiliki pedoman yang jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Muhammad saw. Mengikuti Islam secara murni berarti menyesuaikan kehidupan sepenuhnya dengan ajaran yang berasal dari wahyu, tanpa mencampurkan “elemen-elemen budaya yang bertentangan dengan syariat.”
    • Keunggulan:
      • Memastikan kemurnian ajaran Islam tanpa pengaruh luar yang dapat menyimpangkannya.
      • Menyatukan umat Islam dunia dengan prinsip dan praktik yang seragam, namun tidak menghilangkan keberagaman lokal budaya masing-masing selama itu tidak bertentangan dengan syariat, seperti halnya Islam yang tidak sepenuhnya menolak Budaya Arab.

2. Belajar Agama dengan Menyelaraskan Nilai-Nilai Lokal

  • Penjelasan:
    Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin memiliki fleksibilitas dalam penerapan nilai-nilai universalnya ke dalam konteks budaya lokal selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Pendekatan ini melihat bahwa Islam dapat berdialog dengan budaya setempat untuk menciptakan harmoni.
    • Keunggulan:
      • Lebih mudah diterima oleh masyarakat lokal karena tidak menghilangkan identitas budaya mereka.
      • Menunjukkan sifat Islam yang inklusif dan adaptif terhadap keragaman.
      • Tradisi lokal seperti selamatan atau tahlilan tetap dilakukan tetapi dipenuhi dengan doa-doa sesuai Islam.
      • Adat berpakaian tradisional yang sopan dan sesuai syariat tetap dipertahankan meski berbeda dari pakaian Timur Tengah.

Bagaimana yang Benar?

  • Pandangan Islam:
    Islam menganjurkan umatnya untuk tetap berpegang pada ajaran yang murni, tetapi juga menghargai nilai-nilai budaya lokal yang tidak bertentangan dengan syariat. “Ini terlihat dari praktik dakwah Rasulullah Muhammad saw dan para sahabat yang tidak sepenuhnya menolak budaya Arab, tetapi memperbaikinya sesuai prinsip Islam, dan di Jepang sekarang juga sama, begitu juga dengan Islam di Indonesia”
  • Pendekatan terbaik adalah menggabungkan keduanya: yakni “mengikuti Islam sesuai ajaran aslinya, sambil tetap menghormati dan menyelaraskan dengan nilai-nilai lokal yang tidak bertentangan dengan syariat.” Ini memastikan kemurnian agama tetap terjaga tanpa menimbulkan konflik sosial dan budaya.
  • “Di zaman Rasulullah Muhammad saw, bahkan Islam di selaraskan dengan budaya Arab, kenapa Islam dilarang di Selaraskan dengan Budaya Lokal?”

Contoh implementasi budaya Islam rahmatan lil ‘alamin yang benar, yang mengedepankan keseimbangan antara ajaran Islam yang murni dengan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal:

AspekImplementasi IslamiPenjelasanContoh Praktis
IbadahMengadaptasi tradisi lokal selama sesuai syariatNilai-nilai lokal yang tidak bertentangan dengan syariat bisa dipertahankan dalam pelaksanaan ibadah.Menggunakan alat musik tradisional (rebana) saat perayaan Maulid Nabi, selagi isi acara adalah dzikir dan tausiyah.
PakaianMenyesuaikan pakaian lokal yang sopan dan syar’iIslam hanya mensyaratkan pakaian yang menutup aurat, sopan, dan tidak berlebihan tidak harus menuruti suatu budaya tertentu.Mengenakan baju adat tradisional (seperti kebaya atau baju kurung) yang menutup aurat pada acara pernikahan.
PernikahanMemadukan adat lokal dengan prinsip IslamAcara adat boleh dilakukan selama tidak ada unsur syirik atau berlebihan.Upacara adat Jawa panggih yang diiringi doa Islami, tanpa sesajen atau ritual yang bertentangan dengan tauhid.
Hukum dan AdatMengakomodasi hukum adat dalam syariatHukum adat yang sesuai nilai keadilan Islam bisa diterima sebagai pelengkap hukum syariat.Penyelesaian sengketa tanah menggunakan hukum adat, selama tidak bertentangan dengan prinsip keadilan Islam.
KesenianMenggunakan seni lokal sebagai media dakwahSeni bisa menjadi alat dakwah selama isi dan bentuknya tidak melanggar akhlak Islam.Menggunakan seni tari daerah (tanpa gerakan sensual) dalam pertunjukan yang bertema dakwah atau sejarah Islam.
Makanan TradisionalMenyesuaikan dengan hukum halalMakanan lokal yang tidak halal bisa dimodifikasi agar sesuai syariat Islam.Mengganti bahan babi dalam masakan tradisional seperti babi guling Bali dengan daging sapi atau ayam.
Perayaan LokalMelibatkan budaya lokal dalam hari besar IslamBudaya lokal dapat dilibatkan selama tidak menyimpang dari nilai Islam.Tradisi megengan (Jawa) untuk menyambut Ramadan diisi dengan pembacaan doa dan sedekah makanan tanpa ritual mistis.
PendidikanMemadukan nilai budaya dengan kurikulum IslamPendidikan berbasis Islam bisa tetap menggunakan kearifan lokal sebagai metode pengajaran.Mengajarkan nilai Islam melalui cerita rakyat seperti kisah Wali Songo dalam pelajaran sejarah Islam.
BahasaMempertahankan bahasa lokal dalam dakwahPenggunaan bahasa lokal dapat membantu menyampaikan Islam dengan lebih efektif.Khutbah atau ceramah menggunakan bahasa daerah seperti Jawa, Sunda, atau Bugis agar lebih mudah dipahami dan bahasa daerah lainnya termasuk di luar negeri untuk bangsa lainnya.
MusyawarahMempraktikkan prinsip syura dalam adat lokalAdat musyawarah lokal bisa diselaraskan dengan prinsip syura dalam Islam.Mengadakan musyawarah adat secara Islami dengan pembukaan doa dan nilai-nilai keadilan dalam pengambilan keputusan.

Implementasi budaya Islamrahmatan lil ‘alamin” menunjukkan bahwa Islam fleksibel dan mampu beradaptasi dengan budaya lokal tanpa kehilangan nilai-nilai inti ajaran utamanya. Pendekatan ini tidak hanya menjaga harmoni sosial tetapi juga menunjukkan Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam.

Islam Seharusnya di Adopsi

Islam sebagai agama universal memiliki inti ajaran yang mencakup akidah, ibadah, dan syariat yang bersifat tetap dan tidak berubah, karena hal tersebut berasal langsung dari wahyu Allah dan sunnah Rasulullah SAW. “Syariat inilah yang menjadi fondasi kehidupan umat Islam, menyatukan mereka di seluruh dunia tanpa mengenal batas budaya atau wilayah.”

Namun, Islam juga hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam, termasuk di dalamnya adalah “kemampuannya beradaptasi dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Di sinilah letak keistimewaannya: Islam tidak memaksakan homogenitas budaya tertentu, tetapi memberikan ruang untuk mengintegrasikan nilai-nilai lokal ke dalam praktik keagamaan.”

Misalnya, tradisi lokal yang baik, seperti “gotong royong, sangat selaras dengan ajaran Islam yang mengedepankan solidaritas dan kebersamaan. Namun, tradisi yang bertentangan dengan akidah, seperti ritual persembahan kepada roh, perlu diubah atau dihilangkan, digantikan dengan amalan yang sesuai syariat, seperti doa untuk leluhur, seperti tahlilan.”

Tantangan utama dalam integrasi ini adalah untuk memastikan bahwa budaya lokal tetap mempertahankan esensinya sebagai media dakwah tanpa mengubah prinsip syariat. Untuk itu, diperlukan peran ulama dan budayawan yang mampu bermusyawarah, menentukan mana nilai budaya yang boleh dipertahankan dan mana yang perlu ditinggalkan.

Intinya, “syariat Islam harus menjadi pusat praktik beragama, sedangkan budaya dapat menjadi sarana untuk menyampaikan nilai-nilai Islam dengan cara yang lebih dekat dan relevan bagi masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan fleksibilitas Islam dalam menghormati keragaman, tanpa kehilangan substansi ajarannya.”

Tahlilan Budaya yang Berintegrasi sesuai Nilai Islam

Tahlilan, dalam praktik masyarakat Muslim di Nusantara, adalah sebuah tradisi yang sering kali disalahpahami oleh sebagian orang. Pada hakikatnya, tahlilan bukanlah sebuah ritual syirik, melainkan sebuah amalan doa bersama yang ditujukan untuk mendoakan leluhur atau seseorang yang telah meninggal dunia. Esensinya adalah “memperbanyak zikir, tahlil (kalimat tauhid “la ilaha illallah”), dan doa kepada Allah SWT, memohon ampunan serta rahmat bagi arwah mereka yang telah berpulang.”

Tradisi ini sejatinya adalah ekspresi dari ajaran Islam tentang “pentingnya mendoakan orang yang telah meninggal, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Rasulullah SAW sendiri mengajarkan umatnya untuk mendoakan kebaikan bagi orang yang sudah tiada, seperti dalam hadis:”

“Jika manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau doa anak yang saleh.” (HR. Muslim)

Praktik tahlilan di beberapa masyarakat Muslim lokal menggabungkan elemen-elemen budaya yang positif, seperti gotong royong, sedekah makanan, dan kebersamaan dalam mengingat kematian sebagai pengingat bahwa setiap manusia akan kembali kepada Allah. Meski demikian, “penting untuk memastikan bahwa niat dan tata caranya tetap dalam koridor syariat, tanpa adanya unsur keyakinan yang menyimpang, seperti meminta kepada selain Allah atau menganggap tradisi ini sebagai keharusan agama.”

Dengan memahami esensi tahlilan, umat Muslim dapat melihatnya sebagai “salah satu bentuk syiar Islam yang sarat nilai kebaikan, kebersamaan, dan kasih sayang, tanpa perlu mencurigainya sebagai perbuatan syirik.” Islam, sebagai agama rahmatan lil alamin, memberi ruang bagi tradisi selama tidak bertentangan dengan akidah dan prinsip tauhid.

Kebaikan Membaca Surah Yasin

Sementara itu, secara langsung, tradisi “membaca Surah Yasin bersama-sama” (yang dikenal dengan “yasinan”) tidak disebutkan dalam Al-Qur’an atau hadis. “Namun, membaca Al-Qur’an, termasuk Surah Yasin, adalah amalan yang sangat dianjurkan dan penuh kebaikan dalam Islam, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW. Surah Yasin sendiri memiliki keutamaan khusus yang disampaikan dalam beberapa riwayat.”

  1. Mengandung Pesan Tauhid dan Kehidupan Akhirat
    Surah Yasin mengingatkan manusia tentang kebesaran Allah SWT, pentingnya iman, dan kepastian adanya kehidupan akhirat. Pesan-pesan ini dapat memperkuat keimanan seseorang.“Dan supaya dia memberi peringatan kepada orang yang hidup dan supaya pastilah ketetapan (azab) terhadap orang-orang kafir.”
    (QS. Yasin: 70) Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an, termasuk Surah Yasin, adalah peringatan untuk orang yang hidup agar memperbaiki diri dan menguatkan keimanan.
  2. Keutamaan Membaca Al-Qur’an
    Allah SWT dalam Al-Qur’an memuji orang-orang yang membaca Al-Qur’an. Walaupun tidak spesifik tentang Yasin, membaca ayat-ayat Al-Qur’an membawa pahala dan kebaikan yang besar.“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan melaksanakan salat serta menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka secara sembunyi dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan rugi.”
    (QS. Fathir: 29) Membaca Al-Qur’an adalah amalan yang bernilai tinggi di sisi Allah, dan Surah Yasin, sebagai bagian dari Al-Qur’an, memiliki manfaat yang sama.
  3. Riwayat Keutamaan Surah Yasin
    Dalam hadis, meskipun derajat beberapa riwayat diperdebatkan oleh ulama, ada keterangan tentang keutamaan membaca Surah Yasin:“Segala sesuatu memiliki hati, dan hati Al-Qur’an adalah Yasin. Siapa yang membacanya dengan ikhlas karena Allah dan mengharapkan kehidupan akhirat, maka Allah akan mengampuni dosanya. Bacakanlah Yasin kepada orang yang sedang sekarat.”
    (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah – dinilai hasan oleh sebagian ulama) Dari hadis ini, Surah Yasin diyakini memiliki keutamaan khusus, terutama jika dibaca dengan niat ikhlas untuk mendekatkan diri kepada Allah.
  4. Memperkuat Kebersamaan dan Silaturahmi
    Dalam tradisi yasinan, membaca Surah Yasin secara berjamaah juga memiliki nilai sosial, yaitu memperkuat ukhuwah Islamiyah, kebersamaan, dan mempererat silaturahmi. Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk saling membantu dalam kebaikan.“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
    (QS. Al-Maidah: 2)
  5. Menghadirkan Ketentraman dan Keberkahan
    Membaca Al-Qur’an, termasuk Surah Yasin, dapat menghadirkan ketenangan hati dan keberkahan dalam hidup.“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
    (QS. Ar-Ra’d: 28)

Secara umum, “tradisi yasinan” sendiri adalah salah satu bentuk amalan baik yang bertujuan memperkuat iman, memperbanyak zikir, dan mempererat silaturahmi di antara umat Muslim. “Selama dilakukan dengan niat yang benar dan tidak meyakini hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti menganggapnya sebagai kewajiban yang tidak ada dalilnya, tradisi ini dapat menjadi sarana ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.” sebagai Contoh “jika kata Bismillah adalah kebaikan, kenapa harus di lewatkan? sama saja itu dengan makan makanan enak kita melewatkan yang paling enak nya” terang Nanan.

“Inti dari kebaikan Surah Yasin, pokoknya baik dibaca sendiri atau dalam kebersamaan, adalah sebagai pengingat akan kekuasaan Allah, kehidupan akhirat, dan pentingnya kembali kepada jalan yang diridhai-Nya. “ terangnya.

Pesan Persatuan Antar bangsa sesama Muslim di Seluruh Dunia

Wahai saudaraku, pahamilah bahwa “Islam adalah agama yang telah Allah sempurnakan. Segala petunjuk, rahmat, dan hikmah telah diturunkan melalui Al-Qur’an, dilengkapi dengan sunnah Rasulullah Muhammad SAW. Tidak ada kekurangan dalam agama ini, tidak pula ada celah yang perlu diisi oleh manusia. Yang harus kita renungkan adalah bukan bagaimana kita menyempurnakan ajaran ini, tetapi bagaimana kita menyempurnakan diri kita agar sejalan dengannya.”

“Rasulullah Muhammad SAW, kekasih Allah, telah memberi kita nasihat yang jelas. Beliau berkata, siapa yang menyimpang dari sunnahnya, dari jalan yang ia ajarkan, maka ia telah menyimpang dari rahmat Allah. Tetapi lihatlah bagaimana Rasulullah juga mengingatkan bahwa segala yang ia sampaikan tetap berakar pada Al-Qur’an. Jika suatu ucapan atau tindakan tampak tidak sesuai, maka kembalilah kepada Al-Qur’an, karena itulah pedoman utama kita, sebagai wujud penyempurnaan wahyu dari Allah, bukan berarti karena tidak ada dalam sunah jadi bid ah, apalagi auto kafir, selama itu sesuai syariat ya tidak murtad”

“Saudaraku, agama ini bukan untuk dipertanyakan kesempurnaannya, tetapi untuk direnungi dan dijadikan cermin. Jangan sibuk mencari kekurangan dalam jalan ini, karena tidak akan kau temukan. Sebaliknya, lihatlah ke dalam dirimu. Adakah keburukan yang masih melekat? Adakah sikap yang menyimpang dari nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh Rasulullah? Sempurnakanlah dirimu, bukan dengan menambah atau mengurangi ajaran ini, tetapi dengan tunduk sepenuhnya kepada kehendak Allah.”

Ingatlah firman Allah dalam Al-Qur’an, ketika Ia berkata:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.”
(QS. Al-Ma’idah: 3)

“Ini adalah bukti cinta Allah kepada kita, bukti bahwa jalan yang telah Ia turunkan adalah jalan yang lengkap, jalan yang benar. Maka, tugas kita hanyalah menapaki jalan itu dengan penuh keyakinan dan kerendahan hati. Tinggalkan ego, tinggalkan prasangka, karena keduanya hanya akan menjauhkanmu dari cahaya petunjuk.”

“Wahai saudaraku, bukalah hatimu. Islam bukanlah beban, bukan pula keterpaksaan. Islam adalah rahmat, cahaya yang membawa kita dari gelap menuju terang. Jika kau merasa gelap itu masih ada, maka itu bukan karena ajaran ini kurang, melainkan karena dirimu belum sepenuhnya menerima cahayanya. Bersihkan hatimu, ikhlaskan niatmu, dan dekatkanlah dirimu pada Allah. Hanya dengan begitu, kau akan menemukan kedamaian dalam kesempurnaan agama ini, dan menyempurnakan dirimu untuk menjadi hamba yang benar-benar diridhai-Nya., dalam sejarah pencarian ajaran agama, kesempurnaan yang di cari adalah di dalam diri, bukan dalam agamanya, kalau sudah beragama semakin menyimpang berati…. tanyakan pada rumput yang bergoyang aye!” (red)

Tentang Penulis Redaksi

Gravatar Image
Team Redaksi