Seputaremas.co.id | 26 Oktober 2024 Jakarta – Kebijakan price stability atau stabilitas harga yang sering diimplementasikan oleh bank sentral dan pemerintah memang bertujuan untuk mengendalikan inflasi. Namun, sadarkah kita? ini malah akan berdampak semakin memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi, terutama antara sektor keuangan dan sektor riil, serta antara kelompok kaya dan miskin.
Sektor keuangan, termasuk investor dan pemilik modal besar, cenderung lebih diuntungkan dari kebijakan price stability tersebut. Karena stabilitas harga menjaga suku bunga dan inflasi rendah, akses terhadap modal bagi kelompok kaya dan korporasi besar menjadi lebih murah dan semakin mudah. Mereka bisa membeli aset atau berinvestasi dalam sektor riil dengan harga lebih stabil, bahkan mendapatkan keuntungan dari kenaikan nilai aset tersebut tanpa dampak yang signifikan dari inflasi. Sementara itu, kelompok masyarakat berpenghasilan rendah sering kali tidak memiliki akses terhadap investasi atau aset ini, sehingga mereka tidak ikut menikmati keuntungan yang dihasilkan
Kebijakan price stability dirancang tidak mencakup mekanisme untuk mendistribusikan kekayaan secara adil, melainkan hanya menjaga harga barang dan jasa agar tetap stabil. Meskipun harga tetap stabil, distribusi kekayaan tetap bias kepada mereka kelompok yang memiliki aset dan modal lebih besar. Sementara walau harga stabil, daya beli masyarakat miskin tetap rendah karena penghasilan mereka tidak meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi akibat Deflasi. Jadi, bagi kelompok kaya, stabilitas harga adalah keuntungan karena itu artinya mereka dapat membeli barang dan layanan dengan harga yang tidak melonjak, sementara bagi kelompok miskin, stabilitas harga tidak memperbaiki kondisi ekonomi mereka ketika alat pembayaran justru tidak ada, yang membuat usaha mereka kesulitan dan merugi sehingga terpaksa menurunkan harga.
Stabilitas harga dan suku bunga rendah sering kali mendorong spekulasi dalam sektor keuangan, seperti properti dan saham, di mana para investor kaya dapat membeli aset dan menjualnya ketika harga meningkat, menciptakan keuntungan besar yang tidak dialami oleh sektor riil. Ketika sektor keuangan tumbuh pesat akibat investasi yang murah, sektor riil sering kali tumbuh lebih lambat, sehingga semakin memperlebar kesenjangan antara kedua sektor ini. Hal ini menguntungkan kelompok kaya yang memiliki modal untuk berspekulasi tetapi tidak memberikan manfaat bagi pekerja di sektor riil, yang penghasilannya relatif tetap.
Stabilitas harga tidak menjamin kestabilan kesejahteraan masyarakat miskin atau rentan, sebab pasokan barang dan jasa esensial yang terjangkau tetap bisa menjadi masalah. Meskipun harga barang stabil, akses masyarakat miskin terhadap barang-barang tersebut sering kali terganggu, misalnya karena minimnya pasokan di daerah tertentu atau ketidakmampuan untuk mengatasi biaya hidup yang lebih luas, seperti perumahan atau pendidikan. Stabilitas harga saja tidak mengatasi masalah dasar yang memengaruhi kesejahteraan, seperti pemerataan pendapatan, pekerjaan yang layak, atau akses terhadap layanan kesehatan, seperti membeludaknya pengangguran dan PHK masal baru-baru ini yang di perburuk oleh kondisi Deflasi.
Intinya, Dalam banyak kasus, kebijakan price stability cenderung melindungi bisnis dan sektor korporat besar, yang mengandalkan suku bunga rendah dan inflasi terjaga untuk memaksimalkan keuntungan mereka. Hal ini sering kali tidak diiringi oleh kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan pekerja atau masyarakat berpenghasilan rendah, bahkan saat ini Korporasi lebih mengincar Pekerja Serabutan atau freelance daripada Karyawan tetap akibat ketidak adilan undang-undang. Akibatnya, kebijakan ini justru memperkuat posisi kelompok kaya yang dapat memanfaatkan modal murah, sementara masyarakat berpenghasilan rendah terus berjuang dengan gaji yang tetap atau bahkan menurun dalam nilai riil.
Dengan kata lain, price stability berfokus hanya pada kontrol inflasi dan stabilitas ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang pada pemerataan kekayaan atau kesejahteraan sosial, sistem yang tidak layak digunakan bagi sebuah pemerintahan.
Jika dalam hal ini individu dan kelompok masyarakat secara kolektif mulai berhenti menjual barang dan jasa mereka dengan imbalan uang dan lebih memilih sistem barter atau transaksi menggunakan alternatif pembayaran, ini akan berdampak signifikan pada sistem ekonomi pemerintah dan bank sentral itu sendiri, akibat dari Ketidak percayaan lagi Masyarakat terhadap Pemerintahan, utamanya tatanan dalam konsep Berbangsa dan Bernegara saat ini.
Ketika uang fiat (mata uang resmi yang diterbitkan pemerintah) tidak lagi digunakan sebagai alat tukar utama, permintaannya akan menurun drastis. Dengan berkurangnya permintaan, nilai mata uang tersebut akan terdevaluasi. Ini bisa menyebabkan inflasi yang lebih tinggi karena uang akan kehilangan nilainya seiring dengan menurunnya kepercayaan masyarakat pada mata uang itu sendiri akibat ketidak merataan ekonomi yang terjadi.
Bank sentral yang selama ini mengendalikan ekonomi melalui kebijakan moneter seperti pengaturan suku bunga dan pencetakan uang akan kehilangan kendali mereka. Jika masyarakat tidak lagi bergantung pada uang fiat, bank sentral akan kehilangan instrumen utama untuk memengaruhi ekonomi. Hal ini akan mengurangi efektivitas kebijakan moneter dalam mengatur inflasi, menjaga stabilitas harga, dan memacu pertumbuhan ekonomi, karena Masyarakat mulai merasa bahwa kesenjangan sosial dan ekonomi saat ini sudah tidak dapat lagi di perbaiki, baik oleh bank sentral maupun pemerintahan.
Dalam situasi seperti ini, sistem ekonomi akan beralih ke model yang lebih desentralisasi, seperti ekonomi berbasis komunitas, mata uang lokal yang tidak tergantung pada Bank untuk peneribitannya, atau bahkan cryptocurrency yang berbasis stabelcoin namun dengan aset dasar yang jelas seperti emas dan perak. Ini bisa menandai transisi dari ekonomi berbasis negara ke ekonomi berbasis komunitas atau peer-to-peer, di mana masyarakat bertransaksi tanpa bergantung pada uang fiat atau bank sentral dan mengadopsi Ekonomi “System Stability Settlement”.
Pemerintah mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan utama untuk mendanai infrastruktur, layanan publik, dan berbagai program sosial. Ketika transaksi tidak lagi menggunakan mata uang resmi, maka pencatatan dan pengawasan atas transaksi akan menjadi jauh lebih sulit. Akibatnya, pengumpulan pajak menjadi sangat terbatas atau bahkan tidak relevan, yang bisa melemahkan kemampuan pemerintah dalam menyediakan layanan publik, namun pemerintah tidak dapat selamanya memaksa sebuah keteraturan, utamanya bila mereka gagal menjamin kesejahteraan yang adil dan merata.
Jika banyak orang sudah menyadari dan menolak menggunakan mata uang karena dianggap tidak stabil atau tidak adil, maka ini menunjukkan krisis kepercayaan yang sangat besar pada sistem keuangan dan pemerintah itu sendiri. Kepercayaan adalah dasar dari sistem moneter modern saat ini, dan hilangnya kepercayaan ini bisa menyebabkan ketidakstabilan sosial dan ekonomi yang meluas hingga ancaman keruntuhan Tatanan Sosial secara Global.
Individu dan kelompok yang tidak dapat mengakses sistem barter atau mata uang alternatif akan mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini bisa meningkatkan kesenjangan ekonomi, terutama bagi mereka yang tidak memiliki barang atau jasa yang dapat diperdagangkan secara langsung dan tetap bergantung pada uang fiat untuk melakukan transaksi, risiko ini harus diantisipasi oleh individu yang tinggi terhadap ketergantungan sosial ekonomi pada sistem.
Secara keseluruhan, Saat mata uang tidak lagi digunakan sebagai alat tukar utama, pemerintah dan bank sentral akan mengalami tantangan besar dalam mengendalikan ekonomi, memungut pajak, dan menjalankan kebijakan fiskal serta moneter mereka. Ini berpotensi mengarah pada pergeseran besar dalam sistem ekonomi, dengan dampak luas pada berbagai aspek sosial, politik, dan ekonomi akibat dari Kegagalan dari Konsep Dasar Pemerintahan. (red)